Istilah quiet quitting semakin populer terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini merujuk pada fenomena burn out yang seringkali terjadi pada generasi pekerja pemula. Fenomena ini bukan berarti karyawan benar-benar “berhenti” dari pekerjaannya, melainkan mereka secara diam-diam menarik diri dari keterlibatan emosional dan profesional yang mendalam dalam pekerjaan mereka. Mereka tetap datang ke kantor, menyelesaikan tugas sesuai deskripsi kerja, tetapi tidak menunjukkan inisiatif lebih, kreativitas, atau loyalitas terhadap perusahaan.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan quiet quitting? Apa dampaknya bagi produktivitas perusahaan? Dan yang lebih penting, bagaimana perusahaan dapat mengatasinya secara efektif? Artikel ini akan membahas secara menyeluruh tentang quiet quitting, faktor-faktor pemicunya, dan bagaimana solusi seperti platform e-learning dapat menjadi jawaban jangka panjang bagi perusahaan.
Apa Itu Quiet Quitting?
Quiet quitting secara harfiah berarti “berhenti diam-diam,” tetapi istilah ini tidak merujuk pada karyawan yang benar-benar resign. Sebaliknya, ini adalah kondisi ketika karyawan secara sadar memutuskan untuk hanya bekerja sesuai kewajiban minimum mereka. Mereka menolak bekerja lembur, tidak mau mengambil tugas tambahan, dan kehilangan semangat untuk memberikan kontribusi lebih dari yang diwajibkan.
Istilah ini menjadi populer setelah viral di media sosial, terutama TikTok. Istilah ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya hustle yang memuja kerja berlebihan. Bagi sebagian orang, quiet quitting adalah cara untuk menjaga kesehatan mental dan kehidupan pribadi, tetapi bagi perusahaan, hal ini bisa menjadi sinyal adanya masalah mendalam dalam lingkungan kerja dan manajemen.
Dampak Quiet Quitting terhadap Produktivitas Perusahaan
Fenomena quiet quitting memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas di tempat kerja. Ketika banyak karyawan mengambil pendekatan “kerja secukupnya,” sejumlah konsekuensi negatif bisa muncul:
1. Penurunan Kinerja Tim
Karyawan yang hanya melakukan pekerjaan minimum akan cenderung tidak terlibat dalam kerja tim, tidak mengambil inisiatif, dan tidak memberikan ide inovatif. Ini bisa menyebabkan stagnasi dalam proyek dan menurunkan semangat kerja tim secara keseluruhan.
2. Menurunnya Kreativitas dan Inovasi
Inovasi lahir dari karyawan yang terlibat, termotivasi, dan merasa memiliki peran penting dalam perusahaan. Saat mengalami quiet quitting, perusahaan kehilangan potensi ide dan inovasi dari para talenta terbaiknya. Bahkan, hal ini juga bisa menurunkan produktivitas hingga profit perusahaan.
Baca juga: 10 Faktor yang Menyebabkan Kinerja Karyawan Menurun
3. Produktivitas yang Tidak Optimal
Meski karyawan hadir secara fisik, keterlibatan emosional dan motivasi kerja mereka menurun drastis. Ini menyebabkan output kerja tidak optimal, bahkan jika mereka tidak melanggar aturan kerja formal. Jika dibiarkan, kemajuan karyawan juga akan terhambat.
4. Meningkatnya Beban Kerja bagi Karyawan Lain
Ketika sebagian karyawan memilih quiet quitting, beban kerja tambahan seringkali jatuh kepada rekan kerja lainnya yang lebih aktif. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dan konflik internal.
5. Tingkat Retensi Menurun
Quiet quitting sering menjadi tahap awal sebelum karyawan benar-benar resign. Jika tidak ditangani, perusahaan bisa kehilangan talenta berharga secara perlahan namun pasti. Tingginya turn offer bisa memperlambat produksi atau sistem kerja sehari-hati, sehingga hasilnya tidak optimal.
Faktor Pemicu Quiet Quitting
Mengapa quiet quitting terjadi? Ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu utama munculnya perilaku ini di lingkungan kerja:
1. Kelelahan dan Burnout
Karyawan yang mengalami kelelahan terus-menerus, terutama akibat tekanan kerja berlebihan, cenderung merasa jenuh dan tidak memiliki energi lagi untuk terlibat secara aktif. Burnout menjadi alasan utama mengapa mereka memilih menarik diri secara perlahan.
2. Minimnya Kesempatan Pengembangan Diri
Karyawan yang merasa tidak berkembang dalam kariernya akan kehilangan motivasi. Kurangnya pelatihan, promosi, atau kesempatan belajar menyebabkan mereka merasa pekerjaan menjadi rutinitas tanpa arah. Hal ini sangat memicu quiet quitting, terutama di kalangan profesional muda yang haus akan pembelajaran dan pertumbuhan.
Baca juga: Pentingnya Pengembangan dan Peningkatan Kompetensi dalam Bekerja, Catat!
3. Kurangnya Komunikasi dan Pengakuan dari Atasan
Karyawan ingin dihargai dan didengarkan. Ketika komunikasi antara atasan dan bawahan tidak berjalan dengan baik, atau kontribusi mereka tidak diakui, mereka merasa tidak penting dan mulai menjaga jarak secara profesional.
4. Lingkungan Kerja yang Kurang Suportif
Lingkungan kerja yang toksik, penuh tekanan, atau tidak inklusif akan membuat karyawan merasa tidak nyaman. Alih-alih mengundurkan diri secara langsung, mereka memilih bertahan dengan semangat kerja minimum.
Solusi Quiet Quitting: Bangun Budaya Belajar Lewat Platform E-Learning
Menghadapi quiet quitting, perusahaan tidak cukup hanya memberikan kompensasi materi yang besar. Solusi jangka panjang terletak pada membangun budaya kerja yang mendukung keterlibatan karyawan. Salah satu caranya adalah menyediakan platform e-learning yang memungkinkan karyawan untuk terus berkembang secara profesional.
Platform seperti LMS Karier.mu hadir sebagai solusi cerdas bagi perusahaan yang ingin meningkatkan semangat belajar dan loyalitas karyawan. Melalui pendekatan yang fleksibel, terukur, dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu, LMS Karier.mu memungkinkan setiap karyawan untuk belajar tanpa mengganggu jam kerja utama mereka.
Beberapa keunggulan dari LMS Karier.mu yang bisa menjawab tantangan quiet quitting:
- Pelatihan Fleksibel. Karyawan dapat memilih waktu dan tempat belajar sesuai kenyamanan mereka. Ini penting terutama untuk mereka yang merasa tertekan dengan jam kerja konvensional.
- Konten yang Relevan dan Personal. LMS Karier.mu menyajikan pelatihan berbasis kebutuhan industri dan keahlian masing-masing individu, sehingga karyawan merasa materi yang dipelajari benar-benar bermanfaat bagi karier mereka.
- Pengukuran Kemajuan yang Jelas. Dengan fitur pelaporan dan evaluasi, perusahaan dapat memantau perkembangan karyawan secara real-time, sehingga program pelatihan tidak hanya formalitas, tapi betul-betul memberikan dampak.
- Mendorong Budaya Belajar dan Apresiasi. Karyawan yang merasa difasilitasi untuk berkembang akan lebih termotivasi. Dengan pelatihan yang konsisten dan penghargaan terhadap pencapaian belajar mereka, perusahaan dapat membangun lingkungan kerja yang suportif dan produktif.
Untuk informasi lebih lengkap, perusahaan bisa mengunjungi tautan berikut: Mulai bangun budaya belajar lewat LMS Karier.mu. Yuk, kunjungi kariermu sekarang juga untuk informasi pelatihan terlengkap untuk individu maupun organisasi!